Rabu, 03 September 2008

penghuni surga

kemarin aku dari rengasdengklok, entah rengasdengklok yang sebelah mana aku nggak tahu persisnya. dari tanjung priok butuh waktu sekitar 3 jam tanpa insiden macet, berapa kilometernya aku juga nggak tahu. selama ini aku tahu rengasdengklok hanya dari sejarah, dulu Bung Karno pernah dibuang disini. kalo tempat pembuangan pastilah di pinggiran. tempat yang sepi.
setelah keluar tol cikampek, dari pintu tol karawang, aku bersama tujuh temanku menyusuri jalan yang gak begitu lebar dengan kijang milik pak haji karem. aku bertiga duduk di kursi tengah, tiga lagi di kursi belakang, seorang teman di depan menemani pak haji nyupir. cukup nyaman, di dalam mobil. pake ac. walau kijang tahun 1997 an masih ok kok. kalo dijual masih cukup mahal sekitar 80 jutaan, apalagi sekarang mau lebaran. gak tahu, kalo mau lebaran kok semua pada mahal. bulan puasa harusnya makan lebih sedikit, tapi kok pengeluaran lebih banyak. piye to? apakah puasa kita masih sebatas perut aja ya? entahlah. yang jelas masih banyak orang mencuri, masih banyak orang yang korupsi, masih banyak orang ngapusi, masih banyak orang yang ...... padahal konon kabarnya para setan dipaksa cuti. Lhah.... kok
sudah hampir dua jam, belum sampai juga, katanya di kecamatan pakis jaya. setelah sampai pasar rengasdengklok mentok belok kiri. di pinggir sungai. aroma pedesaan terasa. sungai yang tidak begitu lebar, konon itu anak sungai citarum, ditumbuhi enceng gondok yang tidak terlalu banyak. banyak bebek. aku jadi ingat bebek goreng dari pak yuli tiap jumat pagi. yang konon di jakarta sampe lima belas ribu rupiah sama nasinya.
ada beberapa ibu muda lagi mencuci, lagi mandi, cuci baju, cuci piring, sementara anak-anak kecil tertawa ceria bermain-main di tengah sungai, terlihat berderet wc gantung di tepian sungai. walaupun coklat airnya, tampaknya begitu berguna. airnya mengalir walapun pelan. gak nampak rasa jijik di wajah mereka. indah-indah aja. kata pak haji karem airnya suci dan mensucikan. walau di luar panas adem ning ati.
tak terasa jalan yang tadinya beraspal, sekarang berganti pake cor. di kiri jalan tampak para pekerja jalan membuat galian. entah galian apa lagi, sudah gak perlu ditanya. jalan sudah bagus-bagus, gak enak rasanya kalo gak digali. habis digali, udah ditinggal pergi. diuruk seadanya. proyeknya kan nggali, gak ada dana buat nguruk seperti semula. kelakuan kok gak berubah. padahal kompeni aja gak begitu. konon jalan-jalan waktu jaman kompeni mulus-mulus. lha jaman merdeka kok begini ? gak papa lah, paling tidak para kuli gali itu dapat kerjaan. lumayan buat nyambung kehidupan.
hampir tiga jam, sampailah di kantor kecamatan pakis jaya. belok kiri masuk ke jalan tanah dengan sedikit batu-batu kecil kayak hiasan. cuma cukup satu mobil, sebelah kiri kali bekas galian yang cukup dalam. sebelah kanan rumah penduduk. harus ekstra hati-hati biar gak terperosok. setelah hampir 5 kilometer, mobil diparkir di halaman rumah orang. tanpa permisi. kebiasaan.
seorang ibu separuh baya sudah menunggu di tepi sungai untuk menyeberangkan kami. agak grogi menyeberangi bekas galian pasir yang sudah seperti sungai itu. sampai di tepi sungai, perjalanan diteruskan jalan kaki di atas jalan sempit dari batu cor sembarangan. panas. gersang. jauh dari kemajuan. aku baru paham kenapa rengasdengklok dulu dijadikan tempat pembuangan. seandainya Bung Karno hidup lagi, dia pasti akan dengan mudah tahu dimana tempat dibuang dulu. gak berubah.
sebuah gundukan tanah merah bertaburkan bunga-bunga tampak di seberang jalan. aroma kesedihan mulai terasa. kain warna kuning ditancapkan di depan sebuah rumah. rumah mertua sobatku. ro'yat. teman-teman biasa memanggilnya roy. tampak ketabahan di wajahnya. walau masih kulihat rasa kehilangan yang amat sangat dimatanya. dia baru saja kehilangan separuh nyawanya. sigaraning nyawa kata orang jawa. istri tercinta. demi mendapatkan buah hati, dia rela mengambil resiko walaupun kehamilan di luar kandungan. tak dinyana sang janin berkembang di saluran telur yang hanya seukuran lidi. bisa dibayangkan, makin hari semakin besar sang buah hati. akhirnya tuba falopi yang harusnya buat telur, pecah. entah bagaimana, sang darah putih bersikap tidak seperti biasanya. menyerang paru-paru ibu muda ini. subhanallah, temanku menceritakan hal itu padaku, pada teman-temanku, pada Tuhan, iya meyakinkan semua betapa bagusnya rencana Nya. sesekali bunyi petasan terdengar. Vian sang putra pertama bermain petasan. entah sedih, entah untuk menghibur diri. begitu memilukan.
hening. seketika aku ingat istriku, ingat ibuku, ingat anak-anak perempuanku. Ah...
percayalah sobatku, dia tidak mati, dia dijamin surga, dia menunggumu di teras pintu surga, Allah sudah menjanjikannya.